loading...

Minggu, 29 Maret 2015

Mengenang Aminah Assilmi, Seorang Mualaf yang Mengorbankan Segalanya Demi Islam





Berawal dari kesalahan data komputer, hidup perempuan cerdas ini berubah total dari seorang penganut Kristen Baptis yang taat dan seorang feminis yang radikal, menjadi seorang muslimah dan salah satu tokoh cendekiawan Muslim di AS. Selama 33 tahun menjadi seorang Muslim, ia aktif berdakwah, diundang sebagai pembicara, menulis dan memberikan advokasi di bidang keislaman dan hak-hak perempuan. Dunia internasional mengenal dan menghormatinya sehingga baru-baru ini ia terpilih sebagai satu dari 500 Muslim paling berpengaruh di dunia.

Namanya Aminah Assilmi. Usianya 65 tahun. Namun nama itu kini menjadi kenangan, karena Allah Swt telah memanggilnya pada tanggal 5 Maret 2010. Aminah meninggal dunia setelah pukul 03.00 dinihari waktu setempat, akibat kecelakaan mobil di dekat Newport, setelah memberikan ceramah di New York. Jabatan terakhirnya sampai ia menghembuskan napas yang terakhir adalah Direktur International Union of Muslim Women.

Meski telah tiada, kisah keislaman dan dakwah sosok perempuan yang aktif di masyarakat dan dikenal sebagai cendikiawan Islam dengan level internasional menjadi inspirasi banyak orang.

Saat Hidayah itu Datang


Sebelum masuk Islam, Aminah terlahir dari keluarga Kristen Baptis di wilayah Selatan AS. Sebagai perempuan, Aminah memiliki kecerdasan diatas rata-rata gadis seusianya. Dia selalu mendapatkan nilai sempurna di sekolah, mendapat beasiswa saat kuliah dan sejak menjadi menjadi mahasiswi, ia sudah mengelola bisnis sendiri, bersaing dengan para profesional dan meraih beberapa penghargaan. Ia juga menjadi aktivis perempuan yang menganut feminisme dan bekerja sebagai wartawan media elektronik.

Suatu hari pada tahun 1975, Aminah menggunakan komputer untuk mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi. Saat itu baru pertamakalinya komputer digunakan untuk pendaftaran di perguruan tinggi tersebut. Sementara ia menunggu hasil pra-pendaftarannya untuk jurusan Wisata, Aminah pergi ke Oklahoma untuk mengurus bisnisnya. Karena sesuatu hal, kepulangannya tertunda, ia baru kembali ke perguruan tinggi tempat ia mendaftarkan diri dua minggu ketika perkualiahan sudah dimulai. Betapa terkejutnya Aminah, karena komputer salah mengolah datanya dan nama Aminah masuk ke jurusan Teater. Jurusan yang mengharuskannya tampil di depan banyak orang.

Sebagai gadis yang cenderung pemalu, Aminah gundah memikirkan dirinya harus tampil di depan banyak orang. Ia tidak bisa membatalkan perkuliahannya, karena sudah terlalu terlambat untuk mengurus kesalahan kompouter itu. Ia tidak mau gagal karena ia menerima beasiswa. Nilai “F” di mata kuliah, akan mengganggu pemberian beasiswanya.

Atas nasehat suaminya, Aminah menemui dosennya untuk membicarakan alternatif untuk tampil, seperti persiapan kostum dan lain sebagainya. Dosennya berjanji untuk membantu dan Aminah datang ke kelas selanjtnya yang membuat ia syok dengan apa yang ia saksikan. Kelas itu penuh dengan orang-orang Arab, yang oleh Aminah dijuluki “para joki unta”. Aminah langsung pulang ke rumah dan memutuskan untuk tidak kuliah lagi. Ia tidak mau berada di tengah orang-orang Arab. “Aku tidak akan pernah duduk dalam satu ruangan yang penuh dengan orang-orang kafir yang kotor,” tegasnya ketika itu.

Melihat kegundahan isterinya, suami Aminah dengan sikap kalem seperti biasanya memberinya penjelasan bahwa Tuhan pasti punya alasan untuk segala sesuatu. Ia menasehati Aminah untuk berpikir dalam-dalam sebelum memutuskan berhenti kuliah. Aminah mengunci dirinya selama dua hari untuk mempertimbangkan nasehat suaminya dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap kuliah. Tapi keputusan itu dibarengi dengan pikiran bahwa Tuhan telah menugaskan dirinya untuk mengajak orang-orang Arab itu masuk agama Kristen.

Aminah pergi kualiah dengan sebuah misi. Sepanjang perkuliahan, Aminah akan menyempatkan diri untuk membicarakan agama Kristen yang dianutnya dengan teman-teman Arabnya di kelas. “Saya mulai menceramahi mereka bagaimana mereka akan dibakar di neraka untuk selama-lamanya kalau mereka tidak menerima Yesus sebagai penyelamat mereka,” ujar Aminah menceritakan pengalamannya sebelum masuk Islam.

Tapi, sambungnya, teman-teman Arabnya sangat sopan dan tidak ada yang mau masuk Kristen. Aminah masih terus berusaha mempengaruhi mereka dengan mengatakan bahwa Yesus sangat mencintai mereka dan rela mati disalib untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa. Yang harus dilakukan manusia hanyalah menerima Yesus dalam hati mereka.

Teman-teman Arab Aminah tetap tidak ada yang mau pindah agama ke Kristen dan Aminah pantang mundur. Ia memutuskan untuk membaca kitab suci Al-Quran untuk menunjukan pada teman-teman Arabnya bahwa Islam adalah agama palsu dan Nabi Muhammad adalah tuhan palsu.

Atas permintaan Aminah, seorang mahasiswa membawakannya kitab suci Al-Quran dan sebuah buku tentang Islam. Aminah lalu memulai pencariannya untuk mematahkan keyakinan teman-teman Arabnya terhadap Islam. Aminah membaca seluruh isi Al-Quran dan sedikitnya 15 buku tentang Islam, lalu ia kembali pada Al-Quran dan membacanya kembali. Selama pencariannya itu, ia mulai membuat beberapa catatan hal-hal yang menurutnya bisa ia bantah dan akan dijadikannya sebagi bukti bahwa Islam adalah agama palsu.

Tapi tanda disadarinya, telah terjadi perubahan pada diri Aminah dan suaminya yang melihat perubahan itu. “Dalam beberapa hal kecil saya mulai berubah, yang cukup membuat suami saya terganggu. Kami biasa pergi ke bar setiap hari Jumat dan Sabtu atau pergi ke pesta. Lalu saya mulai malas pergi ke tempat itu, saya jadi agak pendiam dan mulai menjauh,” tutur Aminah.

Sejak ia membaca Al-Quran dan buku-buku Islam, Aminah juga mulai berhenti minum minuman keras dan tidak lagi makan daging babi. Karena perubahan-perubahan itu, suaminya menuduhnya selingkuh dengan lelaki lain dan mengusirnya. Aminah lalu pindah dan hidup sendirian di sebuah apartamen. Dalam kesendiriannya, Aminah terus mempelajari Islam meski ia masih tetap menjadi seorang Kristen yang taat.

Sampai suatu hari, terdengar ketukan di pintu apartemennya. Seorang laki-laki-yang kemudian dikenalnya bernama Abdul Aziz Al-Syaikh-mengenakan busana tradisional muslim berupa baju gamis panjang berwarna putih dengan sorban bermotif papan catur putih merah terlilit di kepalanya. Lelaki itu datang bersama tiga lelaki lainnya yang mengenakan busana yang sama. Ketika itu, Aminah merasa marah karena para tamu itu datang saat ia mengenakan baju tidur dan piyama saja.

Aminah makin kaget ketika Abdul Aziz mengatakan bahwa ia memahami bahwa Aminah ingin menjadi seorang muslim. Aminah lalu menjawab bahwa ia seorang Kristiani dan tidak berniat untuk menjadi seorang muslim. Tapi Aminah punya banyak pertanyaan dan menanyakan apakah tamu-tamunya itu punya waktu luang.

Akhirnya Aminah mempersilahkan mereka masuk. Ia lalu menanyakan hal-hal dan keberatan-keberatannya yang sudah ia catat selama ia membaca Al-Quran dan buku-buku Islam. “Saya tidak akan melupakan namanya, Abdul Aziz adalah seorang yang sabar dan lemah lembut. Ia dengan sangat sabar membahas pertanyaan-pertanyaan itu bersama saya. Dia tidak membuat saya seperti orang bodoh atau membuat pertanyaan saya seperti pertanyaan yang bodoh,” ungkap Aminah.

Aminah mengatakan, Abdul Aziz menjelaskan padanya bahwa Allah memerintahkan manusia untuk mencari ilmu dan bertanya sebagai salah satu cara untuk mendapatkan ilmu. Aminah seperti menyaksikan kuntum bunga sedang bermekaran mendengar penjelasan Abdul Aziz. Ketika ia berbeda pendapat, Abdul Aziz akan memjelaskannya lebih dalam dan dari sisi pandang yang berbeda sampai Aminah benar-benar memahaminya.

Setelah berdiskusi dengan Abdul Aziz dan teman-temannya, tidak butuh waktu lalu buat Aminah untuk memutuskan masuk Islam. Satu setengah tahun ia sudah mempelajari Islam dan Al-Quran, keesokan harinya setelah Abdul Aziz bertamu ke rumahnya, Aminah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan Abdul Aziz dan teman-temannya yang datang malam itu.

Cobaan Bertubi Setelah Menjadi Muslim



Seperti kebanyakan para mualaf yang harus menghadapi konsekuensi yang tidak mengenakan setelah masuk Islam, begitu pula Aminah. Setelah menjadi seorang muslimah, Aminah banyak kehilangan teman-temannya. Ibunya juga tidak menerima keislamannya. Saudara perempuannya bahwa menganggap Aminah sakit jiwa dan ingin memasukkannya ke tempat rehabilitasi para penderita gangguan mental. Ayah Aminah yang dikenal sebagai orang yang bijak dan tempat meminta nasehat oleh banyak orang, tiba-tiba menjadi beringas dan seolah-olah ingin membunuh Aminah setelah mendengar puterinya menjadi seorang muslim.

Aminah sendirian, tanpa teman dan tanpa keluarga. Tapi ia tetap memilih jalan Islam, bahkan memutuskan untuk segera berjilbab meski untuk itu ia harus kehilangan pekerjaannya karena dipecat. Cobaan itu belum cukup, karena suami Aminah menceraikannya begitu tahu ia masuk Islam dan pengadilan memutuskan dua anaknya, satu laki-laki dan satu perempuan, dibawah pengasuhan suaminya, hanya karena Aminah kini menjadi seorang muslim.

“Itulah 20 menit yang paling menyakitkan dalam kehidupan saya,” kata Aminah dalam sebuah wawancara saat ia harus melepas kedua anaknya.

Di Colorado, Aminah mencoba membeberkan kasusnya pada media massa. Ia berharap bisa mendapatkan hak pengasuhan anaknya kembali karena hukum di Colorado menyebutkan bahwa seseorang tidak bisa kehilangan hak asuh anaknya hanya karena latar belakang agamanya. Meski demikian, Aminah tetap tidak berhasil mendapatkan hak asuh itu.

Aminah kembali menjalani kehidupannya sebagai seorang muslim. Meski sakit hati, ia tetap memperlakukan keluarganya dengan hormat dan tetap menjaga komunikasi dengan mereka. Ia juga tetap mendakwahkan Islam dalam setiap kesempatan bertemu dengan keluarganya. Dan perjuangannya tidak sia-sia.

Kasih Sayang Allah


Namun, Allah Maha Pengasih. Ia diberikan anugerah dengan kata-katanya yang indah sehingga membuat banyak orang tersentuh dan perilaku Islami-nya. Dia telah berubah menjadi orang yang berbeda, jauh lebih baik. Begitu baiknya sehingga keluarga, teman dan kerabat yang dulu memusuhinya, perlahan mulai menghargai pilihan hidupnya.

Dalam berbagai kesempatan ia mengirim kartu ucapan untuk mereka, yang ditulisi kalimat-kalimat bijak dari ayat Al-Quran atau hadist, tanpa menyebutkan sumbernya. Beberapa waktu kemudian ia pun menuai benih yang ditanam. Orang pertama yang menerima Islam adalah neneknya yang berusia lebih dari 100 tahun. Tak lama setelah masuk Islam sang nenek pun meninggal dunia. 

''Pada hari ia mengucapkan syahadat, seluruh dosanya diampuni, dan amal-amal baiknya tetap dicatat. Sejenak setelah memeluk Islam ia meninggal dunia, saya tahu buku catatan amalnya berat di sisi kebaikan. Itu membuat saya dipenuhi suka cita!''

Selanjutnya yang menerima Islam adalah orang yang dulu ingin membunuhnya, ayah. Keislaman sang ayah mengingatkan dirinya pada kisah Umar bin Khattab. Dua tahun setelah Aminah memeluk Islam, ibunya menelepon dan sangat menghargai keyakinannya yang baru. Dan ia berharap Aminah akan tetap memeluknya.

Beberapa tahun kemudian ibu meneleponnya lagi dan bertanya apa yang harus dilakukan seseorang jika ingin menjadi Muslim. Aminah menjawab bahwa ia harus percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya. ''Kalau itu semua orang bodoh juga tahu. Tapi apa yang harus dilakukannya?'' tanya ibunya lagi.

Dikatakan oleh Aminah, bahwa jika ibunya sudah percaya berarti ia sudah Muslim. Ibunya lantas berkata, ''OK, baiklah. Tapi jangan bilang-bilang ayahmu dulu,'' pesan ibunya. Ibunya tidak tahu bahwa suaminya (ayah tiri Aminah) telah menjadi Muslim beberapa pekan sebelumnya. Dengan demikian mereka tinggal bersama selama beberapa tahun tanpa saling mengetahui bahwa pasangannya telah memeluk Islam.

Saudara perempuannya yang dulu berjuang memasukkan Aminah ke rumah sakit jiwa, akhirnya memeluk Islam. Putra Aminah beranjak dewasa. Memasuki usia 21 tahun ia menelepon sang ibu dan berkata ingin menjadi muslim.

Enam belas tahun setelah perceraian, mantan suaminya juga memeluk Islam. Katanya, selama enam belas tahun ia mengamati Aminah dan ingin agar putri mereka memeluk agama yang sama seperti ibunya. Pria itu datang menemui dan meminta maaf atas apa yang pernah dilakukannya. Ia adalah pria yang sangat baik dan Aminah telah memaafkannya sejak dulu.

Mungkin hadiah terbesar baginya adalah apa yang ia terima selanjutnya. Aminah menikah dengan orang lain, dan meskipun dokter telah menyatakan ia tidak bisa punya anak lagi, Allah ternyata menganugerahinya seorang putra yang rupawan. Jika Allah berkehendak memberikan rahmat kepada seseorang, maka siapa yang bisa mencegahnya? Maka putranya ia beri nama Barakah.

Ia yang dulu kehilangan pekerjaan, kini menjadi Presiden Persatuan Wanita Muslim Internasional. Ia berhasil melobi Kantor Pos Amerika Serikat untuk membuat perangko Idul Fitri dan berjuang agar hari raya itu menjadi hari libur nasional AS. Pengorbanan yang yang dulu diberikan Aminah demi mempertahankan Islam seakan sudah terbalas. ''Kita semua pasti mati. Saya yakin bahwa kepedihan yang saya alami mengandung berkah.''

Aminah Assilmi kini telah tiada meninggalkan semua yang dikasihinya. Termasuk putranya yang dirawat di rumah sakit, akibat kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari New York untuk mengabarkan pesan tentang Islam.


Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar